INSIDEN SOEKARNO
Pada pertengahan tahun 1946, kebijaksanaan kabinet Sjahrir adalah Berunding dengan Belanda. Perundingan Indonesia-Belanda di Hoge Veluwe (14-24 April 1946) diwakili oleh Suwandi, Soedarsono dan AK Pringgodigdo, selaku delegasi resmi Republik Indonesia. Semua utusan ini sudah kembali pada 29 April 1946. Perundingannya sendiri diyakini tidak membawa hasil apa-apa. Bersama delegasi turut serta pulang ketanah air, Dr Saroso, anggota Tweede Kamer, Setiadjit Soegondo, dan ketua PI (perhimpunan Indonesia) Drs Maruto Darusman. Pada pertengahan bulan Mei 1946 di Belanda berlangsung pemilihan umum dan pada bulan Juli terbentuk kabinet baru Belanda dengan Beel sebagai perdana menteri. Salah satu program kabinet Beel terpenting, adalah menyelesaikan politik di Indonesia. Sesuai perkembangan yang terjadi, maka Belanda amat sulit bergeser dari apa yang paling bijak dilakukan yaitu berunding dengan Republik Indonesia, Maka menghadapi ini, pada 10 September 1946 melalui undang-undang dilantiklah oleh Sri Ratu sebuah badan namanya Komisi Jenderal. Anggotanya 3 orang terhormat yaitu Dr Schermerhorn mantan perdana Menteri, van Poll (dari KVP) dan de Boer (wakil kaum Liberal). Di Indonesia, mendengar jago-jago Belanda ini, tibullah inisiatip untuk memajukan jagonya juga. Tapi siapa ?. Rupanya pilihan jatuh pada Presiden RI, Soekarno. Bagi Indonesia, tidak ada pilihan lain. Bukankah Soekarno sudah dikenal dunia ?. Reputasinya sudah cukup memenuhi syarat. Maka Dr Soedarsono (Mendagri), memberi tahu fihak Belanda bahwa sehubungan kedatangan Komisi Jenderal untuk berunding, maka Republik Indonesia mencalonkan Soekarno sebagai ketua delegasi. Tapi Belanda menolak dengan halus. Hal ini dibicarakan serius dalam rapat Komis Jenderal dan sempat pula dilaporkan kepada Menteri seberang lautan Jonkman pada tanggal 21 September 1946 (Dokumen OBBNIB no.171, 172, 173 dan 174) Rupanya pihak Belanda amat serius dan berpikir maju mundur karena khawatir akan ada salah pengertian dari pihak Indonesia. Schermerhorm sendiri sampai-sampai menggunakan istilah "Insiden Soekarno". Dengan sangat hati-hati dikatakannya, Walaupun kini Belanda menolak penunjukan Soekarno sebagai ketua delegasi, secara pribadi dia menyatakan kesediaannya untuk berbicara dengan Soekarno dibelakang hari. Prof Schermerhorn menilai bahwa Soekarno adalah pemegang kekuasan yang sebenarnya diwilayah Republik, yang mau atau tidak harus mereka hadapi dikemudian hari. (disarikan dari berbagai sumber, khususnya dari bukuHubungan Indonesia-Belanda periode 1945-1950 oleh Drs Basuki Suwarno. Diterbitkan oleh Dep.Lu 2005)