Selasa, 30 Maret 2010

Presiden Soekarno

Masa Bakti 1945 — 1966

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB). Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.

Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”. (kepustakaan-presiden.pnri.go.id)


SEJARAH BUNG KARNO


Ir. Soekarno1 (lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – wafat di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945 - 1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial itu, yang konon, antara lain isinya adalah menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga kewibawaannya. Tetapi Supersemar tersebut disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk merongrong kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi Gerakan 30 September. Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang anggotanya telah diganti dengan orang yang pro Soeharto, mengalihkan kepresidenan kepada Soeharto.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Latar belakang dan pendidikan
o 1.1 Keluarga Soekarno
• 2 Masa pergerakan nasional
• 3 Masa penjajahan Jepang
• 4 Masa Perang Revolusi
• 5 Masa kemerdekaan
o 5.1 Sakit hingga meninggal
• 6 Peninggalan
• 7 Penamaan
o 7.1 Achmed Soekarno
• 8 Lihat pula
• 9 Catatan kaki
• 10 Daftar pustaka
• 11 Pranala luar

Latar belakang dan pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali [1].
Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Keluarga Soekarno
Istri Soekarno
• Oetari
• Inggit Garnasih
• Fatmawati
• Hartini
• Ratna Sari Dewi Soekarno (nama asli: Naoko Nemoto)
• Haryati
Putra-putri Soekarno
• Guruh Soekarnoputra
• Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2001-2004
• Guntur Soekarnoputra
• Rachmawati Soekarnoputri
• Sukmawati Soekarnoputri
• Taufan dan Bayu (dari istri Hartini)
• Kartika Sari Dewi Soekarno (dari istri Ratna Sari Dewi Soekarno)
Masa pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa penjajahan Jepang


Soekarno bersama Fatmawati dan Guntur
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.


Soekarno diantara Pemimpin Dunia.JPG
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi


Ruang tamu rumah persembunyian Bung Karno di Rengasdengklok.
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan tanggal turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Masa kemerdekaan


Soekarno dan Joseph Broz Tito
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet semumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.


Soekarno dan John F Kennedy
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.


Soekarno dan Jawaharlal Nehru
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Sakit hingga meninggal

Bagian ini membutuhkan pengembangan

Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.
Peninggalan

Bagian ini membutuhkan pengembangan

Pada tanggal 19 Juni 2008, Pemerintah Kuba menerbitkan perangko yang bergambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro.[2] Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan "kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba".
Penamaan
Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo.[3] Ketika masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa[rujukan?]; oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno[rujukan?]. Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda)[rujukan?]. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah[rujukan?].
Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.
Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji.[4]
Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.


Belanda Dituntut Luruskan Sejarah Bung Karno

Oleh : Redaksi 11 Aug 2007 - 9:15 am

imageJAKARTA--Terkait momentum Hari Kemerdekaan RI, pemerintah Belanda dituntut untuk meluruskan sejarah bangsa Indonesia, terutama tentang citra Proklamator Bung Karno, yang disebarluaskan di Negeri Kincir tersebut. Sampai saat ini, penulisan sejarah di Belanda masih menyebutkan kalau Bung Karno adalah pengkhianat bangsa Indonesia dan Raymond Westerling sebagai pahlawan Belanda.

Tuntutan ini terungkap dalam diskusi sehari bertajuk Indonesia Menggugat yang diselenggarakan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) di Jakarta, Kamis (9/8). Berbicara dalam diskusi ini bintang film Ray Sahetapy, Laksamana Pertama TNI (Purn) Wibisono, dan ketua KUKB Batara R Hutagalung. Diskusi ini juga menghadirkan beberapa korban selamat dan janda korban peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh Tentara Belanda di Desa Rawa Gede, Karawang, Jawa Barat pada 9 Desember 1947.

Ray Sahetapy, selaku Ketua Ormas Gerakan Kebangkitan Nusantara (GKN), mengatakan, sejarah yang ditulis Belanda sangat memutarbalikkan fakta dan mengganggu kehormatan Indonesia selaku bangsa yang berdaulat. Terlebih Bung Karno sebagai salah satu pendiri bangsa ini disebut-sebut dalam sejarah Belanda selaku pengkhianat.

''Sebaliknya, Kapten Raymond PP Westerling yang membantai banyak orang di Sulsel, diangkat dan dihormati sebagai pahlawan perang di Belanda. Ini jelas melukai hati rakyat Indonesia,'' ujar Ray. Dia menambahkan, sejumlah ormas juga akan bergabung untuk membuat gugatan resmi kepada Belanda untuk mengembalikan harta karun yang diboyong Belanda ke negaranya. ''Kita juga akan mendesak Presiden SBY untuk menyampaikan keinginan rakyat Indonesia ini langsung ke pemerintah Belanda saat presiden berkunjung ke sana,'' ujar Ray.

Sementara itu, Wibisono dan Batara R Hutagalung, mengatakan, tentara Belanda telah melakukan pelanggaran HAM berat dengan membantai ribuan penduduk sipil selama berlangsungnya agresi militer Belanda sekitar tahun 1945-1950. KUKB akan, kata Wibisono, akan menuntut pemerintah Belanda untuk segera memberikan kompensasi kepada para janda dan korban pembantaian dan pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan oleh tentara Belanda di seluruh Indonesia. Dikatakan, pada peristiwa Rawagede yang terjadi satu hari sesudah perjanjian Renville, tentara Belanda dengan kejamnya membantai 431 warga, hanya untuk mencari seorang pejuang Indonesia, Kapten TNI Lucas Kustario.

''Kekejaman tentara Belanda tidak kalah sadisnya dengan tentara Jerman dan Jepang selama perang dunia II. Tapi, ini luput dari perhatian dunia,'' ucap Wibisono dengan nada ketus. Wibisono melanjutkan, apabila Belanda ingin menjadi bangsa yang dihormati, sudah sepantasnyalah pemerintah Belanda bertanggung jawab atas kejahatan yang pernah dilakukan tentaranya selama agresi militer di Indonesia. "Tanggung jawab itu antara lain membayar utang kehormatan berupa kompensasi kepada rakyat Indonesia. Terutama, kepada para korbanyang selamat, janda, dan keluarga korban agersi militer mereka," papar Wibisono. ade (RioL)

Agresi Militer belanda & Pembantaian rawagede yg terlupakan
imageKARAWANG BEKASI
imageKami yg kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak Merdeka & angkat senjata lagi
Tapi siapakah yg tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening dimalam sepi
Jika dada rasa hampa & jam dinding yg berdetak
Kami mati muda.
Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi


Demikianlah sajak yang ditulis oleh Chairil Anwar (26 Juli 1922 - 28 April 1949) pada tahun 1948, untuk mengungkapkan perasaannya terhadap situasi perang melawan tentara Belanda waktu itu. Sajak ini dapat diresapi dan dimengerti maknanya, apabila kita berdiri di hadapan makam dari ratusan korban pembantaian tentara Belanda di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, dekat Karawang, dan mendengarkan berbagai kisah pilu dari para korban, janda korban dan anak-cucu korban pembantaian.

Pada 9 Desember 1947, dalam agresi militer Belanda I yang dilancarkan mulai tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat. Selain itu, ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang, dan antara Karawang dan Bekasi timbul pertempuran, yang juga mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa di kalangan rakyat. Pada 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan �sweeping� lagi di Rawagede, dan kali ini 35 orang penduduk dibunuh.


Para Penduduk lokal yang sedang menunggu di Eksekusi oleh Para KNIL

Untuk Detail & Sumber Artikel dapat dilihat di halaman Sejarah di

Agresi Belanda & Pembantaian Rawagede

Istana Presiden Republik Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Indonesia tercatat memiliki enam istana kepresidenan yakni : Istana Negara, Istana Merdeka di Jakarta, Istana Bogor di Bogor, Istana Cipanas di Cipanas, Istana Tampaksiring di Bali dan Istana Gedung Agung di Yogyakarta.

Dari Sejarahnya, Istana Merdeka, Istana Negara, Gedung Agung, Istana Cipanas, dan Istana Bogor dibangun pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Istana Tampaksiring dibangun pada masa Presiden Soekarno.

Karena pemerintahan Republik Indonesia sejak pengakuan kedaulatan berpusat di Jakarta, maka Istana yang sering digunakan adalah Istana Negara dan terkadang Istana Merdeka yang dulu dikenal dengan Istana Gambir. Baik untuk pemerintahan maupun upacara maupun acara resmi kenegaraan. Selain berfungsi sebagai kantor, Istana Negara digunakan sebagai kediaman Presiden yang sebelumnya merupakan kediaman Gubernur Jendral Hindia Belanda dan Panglima pendudukan Jepang. Sejak Indonesia merdeka tercatat Presiden Soekarno (sejak tahun 1950, sebelumnya di kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur 56, dan di Gedung Agung Yogyakarta), Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara Presiden Soeharto dan Presiden B.J.Habibie lebih sering menggunakan Bina Graha sebagai ruang kerjanya. Presiden Soeharto sendiri memilih tinggal di Jalan Cendana sementara Presiden B.J.Habibie tinggal di kawasan Patra Kuningan. Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, ruang kerja presiden pindah di Istana Negara dengan alasan karena Bina Graha berada di Jalan Veteran yang lalu lintasnya ramai sehingga mengganggu, selain pertimbangan keamanan. Bina Graha sendiri diubahfungsinya menjadi Museum Istana. Untuk kediamannya, Presiden Megawati memilih tinggal di kediamannya di Jalan kebagusan atau Jalan Teuku Umar.

Istana Bogor jarang digunakan sebagai tempat kantor kepresidenan. Pernah digunakan ketika ada acara acara kenegaraan seperti Konfrensi Tingkat Tinggi APEC 1996. Sedangkan Istana Cipanas, Istana Tampaksiring dan Gedung Agung digunakan sebagai tempat peristirahatan atau acara acara informal kenegaraan.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda,khususnya pada tahun 1920-1930'an pusat pemerintahan yang berada di Batavia (Jakarta) dianggap tidak ideal khususnya dari segi pertahanan dan militer serta agar pemerintah Hindia Belanda dapat bertindak "lebih independen". Untuk itu dicari daerah yang dianggap cocok sebagai Ibukota pemerintahan selain Bogor. Pilihan tersebut jatuh ke kota Bandung ditambah letaknya yang strategis (dataran tinggi dengan ketinggian kurang lebih 709 meter diatas permukaan laut). Sehingga pemerintah Hindia Belanda membangun pusat pusat militer, pos dan telekomunikasi di sana ditambah mulai maraknya pusat pusat perdagangan di sana. Untuk mempersiapkan kota Bandung sebagai ibukota, dibangunlah Gedung Sate, dan gedung lainnya seperti Gedung Merdeka. Namun karena dihalang-halangi oleh pemerintah Belanda di Den Haag serta pecahnya Perang Dunia II, rencana itu dibatalkan.



Cinta Carlos Kepada Bung Karno


Tahukah Anda, Bung Karno memiliki sopir khusus seorang warga Roma, Italia bernama Carlos. Bung Karno begitu menyayangi dia, begitu pula sebaliknya. Ihwal kedekatan Bung Karno dengan para sopir atau bawahan lain pada umumnya, tak lain karena Bung Karno begitu perhatian kepada hal-hal kecil. Seperti misalnya setiap kunjungan ke daerah-daerah, dari satu tempat ke tempat lain, Bung Karno akan selalu dan berkali-kali menanyakan “status kesejahteraan” sopir. Harus cukup istirahatnya. Harus cukup makannya. Harus tenang hatinya. “Keselamatan kita di tangannya,” ujar Bung Karno suatu hari kepada ajudan Bambang Widjanarko.

soekarno1Perhatian khusus itu pula yang merebut hati bawahan, sehingga mereka benar-benar mencintai Bung Karno. Tak terkecuali seorang sopir berkebangsaan Italia. Carlos, si sopir itu, adalah langganan Kedutaan RI setempat setiap kali Bung Karno berkunjung ke sana. Dan ketika pada suatu hari Bung Karno berkunjung ke Roma, dan si sopir bukanlah Carlos, serta-merta Bung Karno bertanya kepada Dubes, “Mengapa sopirnya lain? Ke mana Carlos?”

Ketika dicek ke perusahaan tempat Carlos bekerja, diketahui Carlos sedang berlibur ke Swiss atas tanggungan perusahaan. Maka, Bung Karno pun segera bertitah, “Panggil dia pulang, saya mau Carlos!” Perintah pun segara dilaksanakan, dan kesokan paginya, Carlos sudah muncul di hotel, menghadap Bung Karno, memberi hormat ala militer dan berkata, “Your excellency, I am at your service.” Bung Karno menyambut gembira, “Well Carlos, where have you been? I missed you. Bagaimana kabar istri dan anak-anakmu?”

Disapa begitu, Carlos pun bercerita: “Mungkin Paduka Yang Mulia sudah mendengar ceritanya. Saya dipaksa cuti ke Swiss beserta keluarga. Memang senang bepergian ke luar negeri, apalagi dibiayai perusahaan. Tapi kemarin sore waktu kami mendapat berita dari perusahaan agar kami segera pulang karena saya harus melayani Paduka Yang Mulia, kami menjadi lebih gembira lagi. Bahkan istri saya mendesak agar kami cepat-cepat kembali ke Roma. Dan, inilah saya… siap melayani Paduka Yang Mulia.”

Bung Karno bukanlah pribadi yang egois. Demi menjaga peraaan para sopir, teman-teman sekantor Carlos, maka Bung Karno mengundang mereka makan bersama. Carlos datang bersama 10 temannya. Dari event itu diketahui, bahwa kepergian Carlos berlibur ke luar negeri, mulanya karena usulan teman-temannya yang “iri”, dan ingin juga melayani Bung Karno. Maka, ketika terbetik berita Bung Karno hendak berkunjung ke Roma, diaturlah agar Carlos pergi, sehingga sopir lain berkesempatan melayani Bung Karno.

soekarno2

Nah, kembali ke jamuan makan malam terakhir, sebelum Bung Karno dan rombongan kembali ke Tanah Air. Usai makan spaghetti dan minum anggur dalam suasana pesta kecil, keesokan harinya, para sopir sudah berada di hotel, bersiap dengan mobil masing-masing hendak mengantar rombongan Bung Karno ke bandara. Pagi yang cerah, ketika Bung Karno keluar dari hotel hendak menuju mobil, dilihatnya para sopir berjejer di samping pintu sambil memegangi topi. Lalu, terdengar aba-aba: One – two – three ! dan terdengarlah suara para pengemudi itu bernyanyi:

“Bung Karno siapa yang punya”

“Bung Karno siapa yang punya”

“Bung Karno siapa yang punya”

“Yang punya kita semua….”

bung karno lagiBung Karno tersenyum menahan haru. Para pengemudi berkebangsaan Itali menyanyikan lagi yang amat populer ketika itu, dalam bahasa Indonesia yang baik. Belakangan diketahui, para sopir itu sudah belajar dari salah seorang staf kedutaan Indonesia, dan mereka sangat menyenangi lagu tersebut.

Bung Karno mengucap terima kasih, lantas menyalami semua pengemudi satu per satu.

Bung Karno, telah merebut hati semua pengemudi di Roma

Sepincuk Pecel Rukiyem Untuk Bung Karno


Mbok PinAda yang unik pada saat pemugaran makam Bung Karno di Blitar tahun 1979. Suguhan makan siang bukan aneka hidangan lengkap dalam formasi prasmanan, melainkan nasi pecel. Usut punya usut, semasa hidup, setiap pulang ke Blitar, Bung Karno tidak pernah lupa makan pecel. Bahkan, ketika ia sudah menjadi presiden pun, kebiasaan itu tidak pernah hilang.

Adalah Rukiyem, penjual pecel kegemaran Bung Karno. Tahun 1978, saat penulis Anjar Any bertandang ke Blitar, Rukiyem masih hidup, tetap dengan profesinya menjual nasi pecel di Jl. A. Yani No. 43 Blitar. Ia sendiri tinggal di Gebang I/10 Blitar. Warung pecel Rukiyem sangat terkenal. Terkenal dengan nama Mbok Pin. Saking terkenalnya, sebagian besar warga Blitar tahu warung pecel Mbok Pin, langganan Bung Karno dulu.

Bercerita bagaimana ia meladeni kedoyanan Bung Karno makan pecel, Mbok Pin bertutur antusias. Ia menceritakan, setiap Bung Karno ke Blitar, entah karena tugas atau pulang berlebaran, selalu memanggil Mbok Pin. Dan… manakala undangan dari Bung Karno sampai kepadanya, ia segera bersiap dengah penuh semangat.

Dipilihnya kebaya terbaru, dipilihnya kain batik terbaik, dan disiapkannya bahan-bahan pecel kesukaan Bung Karno, termasuk pisang kapok bakar. Setelah siap, ia bergegas ke Jl. Sultan Agung, tempat keluarga Bung Karno berkumpul. Manakala tiba saatnya acara makan pecel, semua perhatian tertuju ke Mbok Pin. Tak lupa, Bung Karno akan menyapa akrab penjual pecel yang ketika itu masih muda. “Wah… penjualnya cantik, kebaya dan kainnya juga baru….”

Melayang rasanya demi mendapat sapaan akrab sekaligus pujian dari Bung Karno, Presiden yang berlimpah cinta rakyatnya. Tak kuasa membalas sapaan akrab Bung Karno, Rukiyem muda hanya tersenyum-senyum malu, sambil tangannya sibuk menyiapkan sajian pecel dalam alas daun pisang. Rukiyem juga sudah hapal betul, daun-daun apa saja kesukaan Bung Karno, dan seberapa banyak takaran sambalnya.

“Beliau itu… kalau lagi pesen pecel, tidak sungkan-sungkan jongkok di depan saya… menunjuk ini-itu daun-daun mana yang ia kehendaki…. Saya bahagia sekali bisa meladeni beliau dan keluarganya. Sepertinya, tidak ada kebahagiaan lain yang lebih menyenangkan dibandingkan menyajikan sepincuk pecel kepada Bung Karno,” tutur Mbok Pin dengan rona berbinar-binar.

Usai acara makan pecel, Bung Karno memberinya uang Rp 700. Suatu jumlah yang sangat-sangat besar ketika itu, mengingat harga sepincuk pecel hanya beberapa rupiah saja. “Makanya, kalau mendapat panggilan Bung Karno rasanya seperti menang lotere… ,” ujar Mbok Pin sambil terkekeh.

Tuan Punya Bom Atom, Tapi Saya Punya Seni


bersama keneddy2Adalah kebiasaan Presiden AS, John F. Kennedy menerima tamu-tamu negara di lantai atas Gedung Putih. Tapi protokol itu tidak berlaku bagi Sukarno, Presiden Republik Indonesia. Dan itu dinyatakan langsung kepada protokol Gedung Putih, “Kennedy mesti turun. Sambut saya di bawah. Kalau tidak, saya tidak akan datang.”

Entah bagaimana si petugas protokol itu menyampaikannya ke Kennedy. Tetapi yang jelas, ketika Bung Karno datang ke Gedung Putih

, Kennedy turun ke ke lantai bawah, dan menyambutnya dengan ramah. Setelah ritual pertemuan dua kepala negara sekadarnya, barulah keduanya bersama-sama menaiki tangga ke atas, diiringi para staf kedua petinggi negara tadi.

Bukan hanya itu. Bung Karno bahkan diberi kesempatan berpidato di Gabungan Kongres dan Senat Amerika Serikat. Ini sangat jarang terjadi, Kepala Negara disambut di Amerika Serikat dengan Sidang Gabungan Kongres dan Senat.

CharlieWilsonO, ya… mundur sedikit ke belakang, ke saat di mana Bung Karno tiba di Gedung Putih, disambut Kennedy di bawah. Ketika itu, Kennedy sempat memperkenalkan para staf yang mendampinginya. Salah satunya adalah Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Charles Wilson, nama lengkapnya Charless Nesbitt Wilson. Politisi kelahiran Texas tahun 1 Juni 1933, alias satu zodiak dengan Bung Karno.

Ketika diperkenalkan, Wilson yang berperawakan gagah dan berwajah macho, maju hendak menyalami Presiden Sukarno. Saat itulah muncul spontanitas humor diplomasi yang sungguh luar biasa dari seorang Sukarno, presiden negara berkembang yang belum lama lepas dari penjajahan Belanda.

Kepada Wilson, Bung Karno tidak sekadar mengulurkan tangan untuk bersalaman. Lebih dari itu, Bung Karno dalam bahasa Inggris yang fasih berkata, “Kombinasi baju dan dasi Tuan tidak bagus,” berkata begitu sambil Bung Karno membetulkan ikatan dasi yang kelihatan miring. Selesai merapikan dasi Menhan Amerika Serikat, Bung Karno melanjutkan ucapannya, “Tuan boleh punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi.”

Bayangkan, mental siapa yang tidak koyak. Apalagi Bung Karno melakukan semua gerakan dan ucapan tadi dengan sangat penuh percaya diri, disaksikan begitu banyak orang. Dari hal-hal kecil seperti itulah, dignity, harga diri kita sebagai bangsa dibangun oleh Bung Karno, sehingga Indonesia tidak dipandang sebelah mata.