Selasa, 30 Maret 2010

Bandelnya Sukarno Kecil


Jamak, anak kecil bandel. Wajar, anak-anak nakal. Tidak aneh bocah suka bermain-main. Nah, Sukarno kecil termasuk anak-anak kebanyakan. Yang membedakan barangkali, sikap orang tua menghadapi kenakalan anak. Yang membuat lain barangkali, setting situasi dan zaman yang berbeda.

Ini tahun 20-an… saat Sukarno masih belum genap sepuluh tahun. Keseharian Sukarno adalah bermain dan bermain. Bahkan, ketika sang ayah, R. Sukemi Sosrodihardjo memberinya tugas menjaga jemuran padi, sempat-sempatnya Sukarno kecil mangkir. Tergoda keinginan main di kali, ia tinggalkan jemuran padi. Apa yang terjadi? Hampir separuh padi yang dijemur, ludes dipatok kerumunan ayam.

Sukarno? Ia asyik mengail ikan di kali.

Pak Sosro? Ia uring-uringan melihat anaknya membiarkan bulir-bulir padi disantap ayam-ayam dengan lahap. Ia jengkel anaknya mengabaikan tugas menjaga jemuran padi. Spontan muncul di benaknya, untuk menyiapkan hukuman setimpal buat Sukarno.

Tak lama kemudian, Sukarno kecil berlari-lari kegirangan sambil memanggil-manggil ibunya dengan manja. Di tangannya, tertenteng seekor ikan lele hasil pancingannya di kali tadi. Tidak begitu besar ikan itu, tapi sangat menyenangkan hati Sukarno. “Ini Bu… saya dapat ikan lele. Kita masak sekarang ya bu… untuk lauk makan kita bersama dengan ayah, kalau ayah sudah pulang nanti,” kata Bung Karno kepada ibunya.

Tampak rona berbinar di wajah Idayu, sang ibu. Tapi jauh di balik sorot matanya, terpendam kekhawatiran membayangkan Sukarno yang bakal kena hukum ayahnya, karena lalai menjaga jemuran padi. Dan kekhawatiran sang ibu sungguh terjadi.

Saat pak Sosro mendapati Sukarno sudah ada di rumah, serta merta diambilnya sebatang kayu, diseretnya tubuh sukarno kecil, dipeganginya pangkal lengan, dan disabet-sabetkannya batang kayu itu ke pantat Sukarno. Belum sampai sabetan ketiga, Sukarno sudah menangis meraung-raung, melolong-lolong meminta tolong sang ibu, dan mengiba-iba kepada sang ayah memohon ampun.

Tak tega demi melihat putra tercinta menangis, ibunda datang mencegah, “Sudah Pak…. Sudahlah…”

Pak Sosro tak menggubris, dan terus mengomeli dan mencambuki Sukarno. Idayu kembali menyergah, “Sudahlah Pak, sudahi engkau menghajar anak itu. Tidak seimbang dengan kesalahannya. Maklumilah, dia masih kecil, masih gemar bermain-main….”

Yang terjadi selanjutnya justru perang mulut antara ayah dan ibu. Sang ayah bersikeras menghajar anaknya agar tidak nakal lagi, sang ibu mencegah si ayah memukul lagi dan lagi pantat Sukarno. Tidak mau berlarut-larut betengkar dengan suami soal hukuman buat Sukarno, segera saja Idayu merengkuh tubuh kecil Sukarno dan dibimbingnya menjauh sambil mendiamkan tangisnya, “Sudahlah No… diamlah… Mari masuk, mari kita masak ikanmu itu, biar nanti kita makan sebagai lauk…. Diamlah anakku sayang… diamlan intan….”

Masih dengan sesenggukan, Sukarno memeluk erat tubuh ibunya. Bahkan sambil memasak ikan, sang ibu masih terus menenangkan Sukarno agar diam dari tangis. Sejurus kemudian, ikan lele itu sudah masak, dan mereka pun –ibu dan anak tercinta– makan bersama.