Selasa, 30 Maret 2010

Perempuan di Balik Tirai


Alkisah, matahari baru saja usai menerangi jagad. Bung Karno bersama seorang teman dan istri teman itu, bertandang ke salah seorang kenalan di kota Bandung. Kenalannya ini memiliki rumah di tepi jalan. Di bagian depan, digunakannya untuk membuka toko kecil, di bagian belakang digunakan untuk tempat tinggal.

Tuan rumah menerima tiga orang tamunya di dekat meja tulis di bagian belakang toko, berdekatan dengan ruang tempat keluarga itu tinggal. Meluncurlah percakapan basa-basi, tentang “bagaimana kesehatan?”, “bagaimana perdagangan?” dan maksud kunjungan Bung Karno bersama teman dan istrinya. Ya, mereka tidak bermaksud hendak berbelanja, melainkan sekadar bertamu.

Nah, istri teman Bung Karno mendadak menanyakan nyonya rumah, sebab ia ingin sekali berkenalan dan bertukar pikiran dengan nyonya rumah. Bisa jadi, ia merasa risih sebagai satu-satunya perempuan di antara tiga laki-laki. Dengan sedikit gugup tuan rumah menjawab ramah, “O, terima kasih ia baik-baik saja, tetapi sayang seribu sayang, ia kebetulan tidak ada di rumah, ia sedang menengok bibinya yang sedang sakit.”

Bung Karno melihat ekspresi yang aneh, seperti ada sesuatu yang disembunyikan oleh tuan rumah. Dan tiba-tiba, Bung Karno yang duduk menghadap ke tirai pemisah toko dan rumah tinggal, melihat sesuatu yang aneh. Tirai itu bergerak-gerak, dan Bung Karno melihat sepasang mata mengintip… mata perempuan! Bahkan di bagian bawah tirai, Bung Karno melihat ujung kain seorang perempuan.

Meski begitu, Bung Karno segera memalingkan perhatian ke tuan rumah, dan melanjutkan obrolan ringan. Tak lama, Bung Karno, bersama teman dan istrinya berpamitan. Di tengah perjalanan, Bung Karno tak henti berpikir, mengapa tuan rumah ‘menyembunyikan’ istrinya? Mengapa istrinya tidak diperkenankan bertemu dengan para tamu, bahkan tamu perempuan?

Sejak itulah, sejak Bung Karno melihat perempuan di balik tirai, pikirannya tentang “kemerdekaan” perempuan terus menari-nari di benaknya. Kemerdekaan yang seperti apa yang layak dikenyam perempuan Indonesia? Kemerdekaan yang dikehendaki oleh pergerakan feminismekah? Yang hendak menyamaratakan permpuan dalam segala hal dengan laki-laki? Kemerdekaan ala Kartini? Kemerdekaan ala Chalidah Hanum? Kemerdekaan ala Kollontay?

Maklumlah pada zaman itu, perempuan benar-benar berada pada perlakuan yang unik. Bung Karno memiliki seorang teman di Bengkulu yang sudah berkeluarga. Temannya ini tergolong modern untuk zamannya. Tapi, dalam satu kesempatan, istrinya pernah mengeluh kepada Bung Karno, bahwa ia merasa begitu terkurung di rumahnya sendiri. Ia tak diizinkan keluar rumah, tak diizinkan menemani suami menerima tamu… pendek kata, ia terkurung.

Tak urung, Bung Karno dalam kesempatan yang pas meminta agar temannya itu memberinya sedikit kebebasan kepada istrinya. Apa jawab teman Bung Karno? “Percayalah Bung, saya tidak ada maksud mengurangi kebahagiaannya, saya hargakan dia sebagai sebutir mutiara….”

Begitulah… ketika itu banyak sekali para suami menghargakan istrinya sebagai mutiara. Padahal, sebenarnya ia sedang merusak atau sedikitnya mengurangi kebahagiaan istrinya. Maksud para suami adalah mencintai istrinya sebagai barang yang berharga, memundi-mundikannya laksana mutiara. Di sisi lain, sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pulalah para suami ketika itu menyimpan para istri di dalam kurungan atau pingitan.

Bung Karno, di tengah perjuangan kemerdekaan