Surat Kartika Buat Bapaknya
Ada begitu banyak kisah seorang anak yang tumbuh tanpa belai kasih sang ayah. Dari yang banyak itu, Anda tentu setuju jika nama yang satu ini terbilang spesial. Karena apa? Karena ini menyangkut satu nama yang tidak biasa: Kartika Sukarno atau yang biasa disapa Karina.
Sebuah kisah spesial karena menyangkut seseorang yang juga spesial. Putri tunggal Bung Karno dari Ratna Sari Dewi itu, memang besar tanpa belai kasih sang ayah. Sepanjang hidupnya, sejarah hanya merekam satu kali momentum Bung Karno menimang Kartika saat bayi. Pada saat itu, kesadaran Bung Karno masih penuh. Sebaliknya, memori Kartika jauh dari cukup untuk mengenang peristiwa itu.
Perjumpaan berikutnya tidak dalam suasana yang lebih baik. Kartika masih balita, sedangkan Bung Karno sedang dalam keadaan sekarat, menjelang ajal menjemput. Singkatnya, nyaris tak pernah terjadi dialog antara Bung Karno dan Kartika dalam keadaan keduanya mengerti dan memahami. Interaksi keduanya, murni antara dua hati. Antara sang ayah dan bocah. Bocah cilik yang dalam tubuhnya mengalir kental darah Bung Karno.
Ikatan batin dan pertalian darah itu pula yang merekatkan keduanya. Bung Karno memang telah wafat, tetapi darahnya mengalir di sekujur tubuh Kartika. Sebaliknya, Kartika memang tidak dibesarkan Bung Karno, tetapi batinnya telah terikat lekat dengan sosok almarhum Putra Sang Fajar.
Syahdan, ketika Bung Karno telah wafat dan jazadnya disemayamkan di Wisma Yaso, yang tak lain adalah rumah Ratna Sari Dewi sang ibunda, samar-samar ia teringat suasana duka yang menyelimuti suasana. Sekalipun begitu, makna duka masih begitu sulit dicerna. Namun jika mengilas balik ke suasana 21 Juni 1970, hari berpulangnya Sang Proklamator, tergambar suasana betapa sang ibu yang tengah bergelut dengan kesedihan. Ratna Sari Dewi menggandeng, menggendong, dan membawa Kartika kian-kemari.
Setahun, dua tahun, tiga tahun… berlalu, dan Ratna Sari Dewi tetap rutin berziarah ke makam mendiang suaminya di Blitar. Dalam kesempatan itu, Ibu Wardoyo, kakak Bung Karno senantiasa menemani. Tampak pula sejumlah kerabat lain ikut berziarah.
Bagaimana Kartika? Tidak pernah ketinggalan. Ibundanya selalu mengajak Kartika berziarah ke pusara ayahanda. Nah, dari ritual ziarah itulah terekam sebuah peristiwa menarik. Terjadi siang hari, saat Kartika bersama ibunda, bude Wardoyo dan sejumlah kerabat berziarah. Seperti biasa, mereka menabur kembang setaman, kemudian bersimpuh mengelilingi makam, khusuk melayangkan doa bagi almarhum Bung Karno. Kartika tampak mengikuti semua ritual dengan khidmat.
Tatkala acara ziarah kubur usai, rombongan kecil itu pun bersiap hendak meninggalkan komplek makam Bung Karno. Satu per satu mundur. Ratna Sari Dewi membimbing tangan putri semata wayang, beranjak dari nisan di hadapannya. Kartika berdiri, mengiringi langkah ibunda. Sesekali, kepalanya menoleh ke arah nisan.
Seperti sengaja menunggu sampai semua rombongan kecil keluarga meninggalkan makam, Kartika terus melangkah. Dan ketika tak satu pun orang di sekeliling makam Bapaknya, lembut Kartika melepas tangan ibunda, berbalik badan dan berlari kecil menuju nisan. Apa yang dilakukannya? Ia mengeluarkan secarik kertas dari kantong, bersimpuh di depan pusara, lalu menyelipkan kertas itu di bawah batu nisan ayahanda.
Rupanya, Kartika telah menyiapkan sepucuk surat yang akan ia sampaikan langsung saat berziarah. Itulah curahan hati Kartika buat sang ayah. Itulah bahasa cinta Kartika buat bapaknya. Itulah wujud hormatnya buat sang rama. Pertanyaan yang mengendap hingga hari ini adalah… “Apa yang ditulis Kartika dalam surat itu?”
Tak berjawab, kecuali sebaris harap, semoga Kartika membaca tulisan ini, dan berkenan membagi personal story-nya dengan Bung Karno.