Kisah Seekor Cacing dan Presiden
Menguak sisi-sisi humanisme seorang Sukarno, sungguh bagai butir-butir pasir di pesisir. Teramat banyak. Kalau saja kita pandai memilah dan memungut, niscaya butir-butir tadi bisa menjadi lentera berharga. Termasuk terhadap satu kisah yang dituturkan oleh orang dekatnya, Mangil di bawah ini.
Alkisah, di suatu pagi nan cerah, udara Kota Yogya begitu menyegarkan. Langit Kota Yogya biru-kehijauan. Bung Karno dan keluarga, sudah sementara waktu hidup dalam pengungsian di Gedung Agung (Istana Yogyakarta). Ini adalah rentetan peristiwa, setelah Sekutu mendarat, melakukan aksi polisionil di Jakarta, dan mengancam keselamatan Bung Karno sebagai seorang Presiden dari sebuah republik yang baru diproklamasikan setahun sebelumnya.
Ya, ini kisah berlatar belakang tahun 1946. Lokasi kejadian di Bantul, yang ketika itu masih banyak areal persawahan. Bung Karno paling suka menjelajah area pertanian kota Yogya. Sesekali bahkan ia naik sepeda, berboncengan dengan Fatmawati, melintas padang tebu Madukismo.
Nah, hari itu, Bung Karno kembali menjelajah areal pertanian di sebelah selatan Kota Gudeg. Kali ini, ia tidak bersepeda, melainkan naik mobil Buick Hitam, bersama Fatmawati, disopiri Arif dan dikawal satu orang pengawal DKP. Melintaslah mobil kepresidenan tadi dari satu areal persawahan ke areal persawahan yang lain. Di tempat-tempat tertentu yang banyak orang, Bung Karno menyuruh Arif menghentikan mobil.
Sesaat Bung Karno turun diiringkan Fatmawati dan pengawal. Arif sang sopir, setia menunggu di mobil. Dengan bahasa Jawa yang halus, Bung Karno menyapa para petani dan mengajaknya berbicara, mulai dari masalah-masalah pertanian, masalah rumah tangga, masalah pengairan, masalah harga jual gabah… sesekali diselipkan tentang senangnya menghirup udara bebas sebagai bangsa merdeka.
Sejurus kemudian, Bung Karno mewartakan pula berita Sekutu yang sudah mendarat dan sedia merampas kembali kemerdekaan kita. Kalau udah begitu, para petani akan spontan merespon penuh semangat. Ada yang mengangkat cangkul, sabit, atau apa saja yang ada di tangan dan pernyataan siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan.
Setelah berpamitan, Bung Karno melanjutkan perjalanan. Nanti, tak jauh dari situ, Bung Karno bisa berhenti lagi dan mengulang apa yang sudah dia lakukan bersama para petani sebelumnya. Bercakap-cakap, bertanya-jawab, dan tak lupa menyelipkan pesan-pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Tibalah saatnya, ketika Bung Karno hendak melanjutkan perjalanan, matanya tertumbuk pada seekor cacing yang menggeliat-geliat kesusahan di tengah jalan raya. Bung Karno menghentikan langkah, memperhatikan cacing yang bersusah payah terseok-seok, menggeliat-geliat hendak mencari tanah gambur, atau setidaknya mencari kelembaban.
Tak habis pikir Bung Karno, demi melihat seekor cacing di tengah jalan. Ia hanya bisa menduga, itu seekor cacing salah jalan… atau ada petani iseng saat mencangkul mendapati cacing, kemudian memungut dan melemparnya ke jalan (tempat kering). Satu hal yang Bung Karno tahu, tanpa adanya pertolongan, si cacing bakal mati kepanasan. Habitat dia bukanlah di tengah jalan. Selain bisa mati kering tersengat matahari, bisa juga mati lebih cepat karena kelindas ban sepeda, ban mobil, atau telapak kaki petani.
Karenanya, Bung Karno spontan memerintahkan pengawalnya untuk segera menolong sang cacing. Caranya? Tentu saja harus dipungut dengan tangan, setidaknya menjumputnya dengan jepitan lunak telunjuk dan jempol, kemudian memindahkannya ke tanah basah.
Atas perintah Presiden yang satu ini, sang pengawal kaget. Ekspresinya benar-benar seperti orang blo’on… sorot mata memandang bolak-balik antara seekor cacing dan Bapak Presiden. Pada saat itu, ia benar-benar belum paham dengan perintah penyelamatan cacing di tengah jalan. Barulah setelah Bung Karno mengeluarkan perintah yang sama untuk kedua kalinya, si pengawal paham.
Sayangnya, setelah paham akan perintah Presiden, giliran psikisnya yang terguncang. Rupanya, si pengawal ini terbilang manusia yang “geli” melihat cacing… apalagi memegangnya. Jadilah ia kembali menampakkan ekspresi blo’on untuk yang kedua kalinya. Ekspresinya terbaca jelas, antara takut menentang perintah Presiden, dan takut (tepatnya “geli”) memegang seekor cacing yang tengah uget-uget menjemput ajal.
Bung Karno memaklumi keadaan itu. Sambil senyum dikulum, Bung Karno tidak lagi memerintah. Ia berjalan menjauh dari pintu mobil dan menuju titik di mana cacing kesasar itu berada. Setelah dekat, ia membungkuk, menjumput cacing tanpa ragu, mengangkat, dan melemparnya ke persawahan. Selamatlah sang cacing. Diselamatkan oleh seorang Presiden.