Selasa, 30 Maret 2010


Bung Karno sebagai “Tukang Insinyur”

rumah karya bung karno

Kuliah teknik sipil di THS Bandung (sekarang ITB) adalah sisi kehidupan lain seorang Sukarno muda. Tokoh pergerakan, adalah peran lain yang dimainkannya. Nah, dalam mendayung sampan perjuangan di sungai berbatu cadas, terkadang ia meliuk ke kiri, meliuk ke kanan… terkadang ia menabrak pula bebatuan keras yang membuatnya limbung.

Di lingkungan kampus, Sukarno pun sempat aktif di organisasi kemahasiswaan, semacam studie club. Akan tetapi, manakala klub mahasiswa yang sebagian besar berisi mahasiswa bule itu lebih banyak menjalankan program pesiar dan plesiran, Bung Karno pun menyempal dan mendirikan kelompok studi lain. Langkah dia, segera diikuti mahasiswa-mahasiswa pribumi, pengikut setianya.

Bertahun-tahun setelah ia mendayung kedua peran sebagai mahasiswa dan tokoh pergerakan, tentu saja Sukarno mengalami banyak kejadian. Ia ditangkap polisi Belanda untuk pertama kali tahun 1922, pun dalam status sebagai seorang mahasiswa. Ia pernah digrebek di rumahnya bersama sejumlah akivis lain, juga masih dalam status sebagai mahasiswa.

Bahkan, ketika hantaman datang bertubi-tubi, mulai dari peristiwa penangkapan, disusul ditangkapnya guru sekaligus mertua, H.O.S. Cokroaminoto, dan banyak kejadian lain, sempat memunculkan awan pekat di ujung sungai sana. Ia nyaris berhenti mendayung. Ya… nyaris berhenti kuliah. Berhenti meneruskan cita-cita pergerakan menuju Indonesia merdeka.

Akan tetapi, ingatkah Anda? Seorang anak yang lahir di saat sang fajar menyingsing, takdirnya telah ditentukan. Ingatkah pula Anda? Sang ibunda, yang mengandung dan melahirkannya, Ida Ayu Nyoman Rai, mendekap tubuh kecil Sukarno di beranda depan, saat matahari mengintip di ufuk sana, seraya menujum masa depan putranya yang gilang-gemilang. Menerawang masa depan putra tersayang yang bakal menyandang takdirnya menjadi pembebas belenggu penjajah yang melilit bangsanya.

Awan pekat pun tersibak. Cokroaminoto bebas, Sukarno kembali ke bangku kuliah. Dan… aktivitas pergerakan kembali menjadi rutinitas hidupnya. Ia melanjutkan kuliah dengan gelora semangat baru. Mungkin saja karena ia baru saja melewati satu tanggung jawab besar sebagai kepala rumah tangga, atau mungkin juga karena ia kembali ke kota Bandung, ke rumah kos dengan Inggit Garnasih di dalamnya.

Kuliah berhasil diselesaikan. Nilai kelulusan? Ah… mana terjadi mahasiswa pribumi melampaui nilai-nilai mahasiswa bule. Pribumi harus di bawah bangsa bule. Sepintar apa pun dia. Sukarno tahu betul hal itu. Ia sudah terbiasa dengan hal-hal semacam itu sejak masa sekolah ELS di Mojokerto, HBS di Surabaya.

Bung Karno sendiri tidak terlalu memedulikan masalah itu. Ia lebih peduli politik. Ia lebih peduli menyusun kekuatan pergerakan melawan penjajah. Ia lebih peduli mewujudkan Indonesia yang merdeka. Indonesia yang tidak lagi membungkuk-bungkuk di hadapan bule. Indonesia yang tidak bisa begitu saja diludahi bangsa penindas.

Hanya orang dengan kepedulian seperti itu saja, yang rela hidup miskin, sekalipun tawaran menjadi pejabat dan pegawai di pemerintahan Hindia Belanda terbuka lebar, apalagi bagi seorang sarjana teknik, “tukang insinyur” cerdas seperti Sukarno. Ia lebih suka menerbitkan koran, memungut uang langganan, uang iklan, dan mendapatkan sedikit uang untuk dana perjuangan. Dengan media ia bisa berpropaganda. Dengan uang yang dihasilkan, ia bisa mendanai hidup dan perjuangannya.

Memang, Bung Karno sempat pula mencari nafkah dengan menjual keahliannya sebagai seorang insinyur. Ia mendirikan biro teknik, biro arsitek, tetapi tidak berhasil. Ada banyak faktor, tetapi yang pasti, ia gagal. Kemudian selepas dari penjara Sukamiskin, sekira tahun 1932, ia bergabung dengan Ir. Rooseno dan kembali mendirikan biro arsitek.

Biro arsitek yang didirikannya, lagi-lagi tidak sukses. Orang-orang lebih menyukai arsitek ala Tionghoa atau Belanda. Alhasil, tidak jarang untuk bayar sewa kantor yang 20 rupiah, telepon yang 7,5 rupiah, biro ini harus menombok. Bung Karno menomboki usaha yang merugi? Bukan. Rooseno-lah yang nombok. Sebab, Rooseno berpenghasilan lebih besar lagi sebagai pengajar. Kantong Rooseno jauh lebih tebal dibanding seluruh kantong Sukarno.

Sukarno? Ah… dia pura-pura tidak tahu hal itu. Yang pasti, tiap bulan ia datang ke kantor, menemui Rooseno, dan langsung bertanya, “Berapa kau berutang kepadaku?”

Rooseno hapal betul nada itu. Sebuah sikap “memahami” yang sangat dalam. Rooseno tahu, bahwa Sukarno tahu usahanya tidak jalan, atau katakan saja jalan merayap. Di sisi lain, Rooseno tahu juga, Sukarno sangat memerlukan uang untuk menafkahi keluarga dan ongkos perjuangan. Pemahaman seperti itulah yang membuat Rooseno menjawab pertanyaan Bung Karno dengan jawaban, “Bagian Bung 15 rupiah….”

Bayangkan! “Bagian” dari mana? Sedangkan untuk menutup sewa kantor dan bayar telepon saja tidak cukup. Jadi, laiknya dua sahabat dalam tingkat kesepahaman yang tinggi, maka Sukarno pun menjawab, “Baik. Terima kasih.” Tak ada pertanyaan lagi setelah itu.

Sejatinya, dalam hal perpaduan ilmu, Rooseno dan Sukarno memang klop. Dalam menjalankan roda usaha biro arsitek tadi, Rooseno yang banyak berperan sebagai insinyur-kalkulator. Mengerjakan soal-soal detail, membuat perhitungan dan kalkulasi, serta mengerjakan ilmu pasti yang sangat sukar itu.

Sukarno sendiri, sebagai seorang arsitek seniman, bertindak sebagai pengatur bentuk-bentuk yang unik dari rancang bangun sebuah gedung atau rumah. Akan tetapi… tentu saja tidak banyak yang diatur, karena biro arsitek mereka memang sepi order. Tetapi dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno cukup membanggakan karyanya sebagai “tukang insinyur”. “Ada beberapa buah rumah yang kurencanakan sendiri, dan sekarang masih berdiri di Bandung. Rencanaku boleh jugalah. (Meski) tidak begitu ekonomis, tetapi indah

Pernikahan Kartika Soekarno

Seegers-Kartika

“Mas… tulis dong tentang Karina Soekarno…,” begitu permintaan seseorang yang termasuk golongan orang-orang yang rajin berkunjung ke blog ini…. Yang terlintas di benak saya adalah serentet peristiwa terkait Kartika Sari Soekarno atau yang akrab disapa Karina. Dialah buah cinta Bung Karno dan Ratna Sari Dewi, wanita cantik asal Jepang, yang bernama asli Naoko Nemoto.

Ada sekelebat peristiwa ketika Karina kecil dituntun-tuntun di antara kerumuman pelayat jenazah Bung Karno di Wisma Yaso tahun 1971. Ada pula lintasan peristiwa manakala Karina diajak ibundanya berziarah ke makam ayahandanya di Blitar, beberapa tahun kemudian. Dan… tentu saja yang masih lekat adalah peristiwa pernikahan Karina dengan seorang bankir Belanda.

Pernikahan Karina dengan Frits Frederik Seegers berlangsung 2 Desember 2005 di hotel Continental, Amsterdam, Belanda. Frits adalah President Citibank wilayah Eropa. Saat itu, saya masih mengelola Tabloid Cita-Cita dan mendapat sumbangan materi foto-foto eksklusif dari Guruh Soekarnoputra di Yayasan Bung Karno.

Seegers-Kartika3

Megawati sebagai saksi

Dalam pernikahan itu, Megawati Soekarnoputri, kakak Karina dari ibu Fatmawati, bertindak selaku saksi. Tampak Mega tengah menandatangani dokumen pernikahan adiknya. Megawati sendiri hadir bersama putrinya, Puan Maharani, dan adik bungsunya, Guruh Soekarnoputra.

mempelai-guruh-cindy-mega

Pasca upacara pernikahan, Frits Frederik Seegers dan Karina bergambar bersama Guruh Soekarnoputra, Cindy Adams, dan Megawati Soekarnoputri.

guruh-cindy-mega-ratna sari dewi

guruh-mega-puan-kartika

Guruh - Kartika

Dalam resepsi itu, hadir sejumlah orang dekat mempelai, tak terkecuali hadirnya Cindy Adams, penulis biografi Bung Karno. Tak ayal, momentum pernikahan Karina – Seegers menjadi ajang kangen-kangenan di antara kerabat yang sehari-hari terpisah bentang jarak ribuan mil.

tari bali di resepsi

Di hotel Continental pula, pada malamnya langsung digelar resepsi. Selain gala dinner yang eksklusif, Karina juga mendatangkan para penari Bali untuk menghibur para tamu.

Usai menikah, pasangan pengantin baru langsung kembali ke London, Inggris, dan menetap di sana. Karina kembali ke rutinitasnya sebagai aktivis sosial dengan bendera Kartika Soekarno Foundation, sementara suaminya, kembali ke Citibank.

Bung Karno Menjadi Harun Al Rasyid

BK-rakyat

Ingat Harun Al-Rasyid, ingat dongeng 1001 malam. Khafilah yang terkenal merakyat, dan gemar menyamar untuk membaur dengan rakyatnya. Legenda Harun Al-Rasyid rupanya lekat pula di benak Bung Karno. Makanya, dalam hal-hal tertentu, Sukarno pun gemar menyamar menjadi rakyat jelata, dan keliling masuk-keluar pasar, masuk-keluar kerumunan manusia, hanya sekadar ingin dekat dengan rakyatnya.

Lain dengan Harun Al-Rasyid yang memang keturunan khafilah, keturunan raja. Sedangkan Bung Karno? Sekalipun mengalir darah biru dari Sultan Kediri, tetapi ia bukanlah berasal dari keluarga berada. Ia bahkan melukiskan kehidupan masa kecil hingga remaja sebagai sangat miskin. Makan nasi sehari sekali adalah sebuah kemewahan baginya.

Jika kemudian Bung Karno merasa begitu dekat dengan rakyat, itu karena ia merasa lahir dari rahim rakyat jelata. Sepanjang perjuangan pergerakan kemerdekaan, ia selalu dikelilingi rakyat, didukung rakyat, diikuti rakyat ke mana pun telunjuknya mengarah.

Karenanya, sekalipun ia telah menyandang predikat Presiden, kebiasaan untuk berada di tengah-tengah rakyat jelata tak pernah bisa sirna. Bahkan dalam “curhat”-nya kepada penulis biografinya, Cindy Adams, ia mengatakan, sering merasa lemas, napas seakan berhenti apabila tidak bisa keluar Istana dan bersatu dengan rakyat-jelata yang melahirkannya.

Karena itu pula, ia tak jarang keluar Istana seorang diri, ada kalanya dikawal seorang ajudan berpakaian preman. Bagaimana ia menyamar? Menurut Bung Karno, tidak terlalu sulit. Sebab, rakyat kebanyakan sangat lekat dengan penampilan Bung Karno khas dengan baju seragam dan pici hitam. Maka, ketika Bung Karno berganti pakaian, memakai sandal, pantalon, atau hanya berkemeja, lalu mengenakan kacamata berbingkai tanduk, rupa Bung Karno sudah beda sama sekali.

Dengan cara itu, Bung Karno bisa leluasa masuk-keluar pasar tanpa dikenali orang. Ia merasa kepunyaan rakyat, karenanya menjadi lebih nyaman bila berada di tengah rakyat. Perasaan Bung Karno langsung tenteram jika mendengar percakapan riuh orang-orang. Bung Karno menyimak rakyat bergunjing, rakyat bergosip, rakyat berdebat, rakyat berkelakar, rakyat bercumbu-kasih. Pada saat itulah Bung Karno merasakan sebuah kekuatan merasuk, mengaliri seluruh pembuluh darah.

Dari satu tempat ke tempat lain, sesekali bahkan Bung Karno berhenti di pinggir jalan, memesan sate ayam yang disajikan menggunakan pincuk dan pisang, dan memakannya sambil duduk di trotoar. Saat-saat seperti itulah Bung Karno merasakan kesenangan luar biasa.

Akan tetapi, ada kalanya, penyamaran ala Harun Al-Rasyid berantakan kalau Bung Karno kelupaan. Lupa untuk tidak berbicara. Lupa untuk tidak mengeluarkan suara. Seperti yang terjadi di kawasan Senen, Jakarta Pusat, di dekat lokasi pembangunan gudang stasiun. Waktu itu, spontan saja ia bertanya kepada tukang bangunan, “Dari mana diambil batubata dan bahan konstruksi yang sudah dipancangkan ini?” Maklumlah, Sukarno adal


Bung Karno, Dikutuk seperti Bandit, Dipuja Laksana Dewa

Cium kaki Bung Karno

Begitulah Sukarno. Sepertinya, tidak ada manusia di abad ke-20 yang menimbulkan begitu banyak perasaan pro dan kontra seperti dia. Kepada penulis biografinya, Cindy Adams, Bung Karno mengibaratkan dirinya dikutuk seperti bandit, dan dipuja laksana Dewa.

Dubes senior Inggris di tahun 60-an pernah berkirim surat ke alamat Downing Street 10 London (alamat Kantor Perdana Menteri). Tulisnya, “Presiden Sukarno tidak dapat dikendalikan, tidak dapat diramalkan dan tidak dapat dikuasai. Dia seperti tikus yang terdesak.”

Media massa Barat membuat laporan-laporan yang mendiskreditkan Sukarno, meski sumbernya seorang abang becak, yang entah faktual entah fiktif. Hal itu tentu menjadi kontradiktif dengan sisi yang lain, yang menggambarkan begitu ia dipuja bagaikan Dewa.

Tak jarang, seorang kakek-kakek datang ke Istana, memaksa bertemu Presidennya sebelum ajal menjemput. Ada pula kisah seorang nelayan uzur, berjalan kaki 23 hari lamanya, untuk dapat bersujud mencium kaki Sukarno. Ia menyatakan, dirinya sudah berjanji, sebelum mati akan melihat wajah presidennya dan menunjukkan kecintaan serta kesetiaan kepadanya. Termasuk foto ilustrasi di atas, seorang lelaki berjalan kaki dari kampungnya, membawa seikat talas untuk dipersembahkan kepada presidennya. Ketika berjumpa, ia pun langsung bersimpuh, bersujud dan mencium kaki Sukarno.

Tidak sedikit kisah-kisah unik lain. Seperti yang dilakukan seorang petani kelapa yang sedang bersedih karena sudah berbulan-bulan anaknya sakit keras. Suatu malam ia bermimpi, bahwa ia harus pergi menemui Bung Karno untuk meminta air bagi kesembuhan anaknya. Bung Karno sendiri memenuhi permintaan rakyat yang dicintainya. Diambilkannya air ledeng biasa dan diserahkannya kepada petani kelapa tadi.

Dalam persoalan di atas, Bung Karno sama sekali tidak bisa bersoal-jawab dengan mereka. Apalagi, Sukarno paham betul, sebagian masyarakat kita, utamanya orang Jawa, banyak yang percaya kepada ilmu kebatinan. Termasuk petani kelapa yang bersikeras meminta air kepada Bung Karno. Seminggu kemudian, ia mendengar anak petani kelapa tadi telah sembuh.

Tidak jarang, ketika Bung Karno hadir dalam suatu acara, muncul pula cerita-cerita unik. Ia ingat ketika menghadiri suatu acara di pedalaman Jawa Tengah. Seorang perempuan desa mendatangi pelayan Bung Karno dan membisikkan, “Jangan biarkan orang mengambil piring Presiden. Berikanlah kepada saya sisanya. Saya sedang mengandung dan saya ingin anak laki-laki. Saya mengidamkan seorang anak seperti Bapak. Jadi tolonglah, biarlah saya memakan apa-apa yang telah dijamah sendiri oleh Presidenku,” ujar perempuan itu bersemangat.

Di Pulau Bali, masyarakat percaya bahwa Sukarno adalah penjelmaan Dewa Wishnu, Dewa Hujan dalam agama Hindu. Karenanya, di musim kemarau pun, ketika Sukarno datang ke Bali, senantiasa dimaknai sebagai turunnya hujan. Mereka yakin, kedatangannya membawa restu. Bahkan pernah terjadi, ketika Bung Karno terbang ke Bali dalam musim kering, tepat setelah Bung Karno tiba, hujan turun bagaikan dicurahkan dari langit.