Bung Karno adalah pribadi yang lugas. Terhadap Presiden Amerika Eisenhower ia bisa melempar kata-kata pedas. Akan tetapi, terhadap pemimpin Cina, Mao Zedong yang komunis, ia bisa bertutur manis.
Nah, ini adalah sekelumit pujian Bung Karno kepada Mao. Pertama, ia memuji Mao sebagai seorang pemimpin yang cerdik. Dikisakan, pada satu periode, Negeri Tirai Bambu itu terancam bahaya kelaparan. Tanaman padi, jagung, dan gandung yang ditanam para petani, terancam gagal panen.
Ancaman terhadap produksi bahan pakan negeri dengan penduduk terbesar di dunia itu, datang dari jutaan burung pipit yang hidup liar di seantero negeri. Betapa tidak, tatkala bulir-bulir padi mulai ruah, kawanan burung pipit menyerbunya habis. Pohon padi yang siap panen pun menjulang tanpa isi. Sebuah ancaman kelaparan sungguh tampak di pelupuk mata.
Mao Zedong menerapkan strategi jitu guna menuntaskan hama burung pipit di negerinya. Mao tahu, burung pipit hanya punya kemampuan terbang terus-menerus selama empat jam. Maka, pada suatu ketika, Mao memerintahkan rakyatnya yang waktu itu berjumlah 600 juta, untuk secara serentak memukul tong-tong dari bambu, mengoyak-oyak pepohonan, berteriak-teriak atau berbuat sesuatu untuk menghalau burung pipit.
Perintah Mao dipatuhi. Alhasil, suatu hari, sejak pukul lima pagi hingga jam sembilan, ratusan juta rakyat di seluruh penjuru negeri melaksanakan perintah Mao. Gaduhlah negeri itu. Syahdan… jam sembilan lebih 30 menit, kurang lebih, jutaan burung pipit berjatuhan, lemas menggelepar di tanah. Sontak jutaan rakyat Cina menangkap, memungut, menggoreng dan memakannya. Persoalan pun teratasi.
Bung Karno sangat sering menyitir kejadian di atas dalam banyak kesempatan, di banyak negara. Tak heran jika sebagian orang yang tidak menangkap substansi, langsung menuding Bung Karno berbaik-baik dengan tokoh komunis. Bahkan tidak sedikit yang menuding adanya kecenderungan Bung Karno menjadi komunis.
Atas tudingan sampah tadi, Bung Karno lewat buku yang ditulis Cindy Adams menukas, “Aku akan memuji apa yang baik, tak pandang sesuatu itu datangnya dari seorang komunis, Islam, atau seorang Hopi Indian. Akan tetapi, betapa pun, pandangan dunia luar, maka terhadap persoalan apakah aku akan menjadi komunis atau tidak, jawabnya ialah: "T-I-D-A-K!”
Bahwa ia bersahabat baik dengan Moskow dan Beijing, Bung Karno bardalih karena memang kedua negara –yang kebetulan komunis– itu begitu menghormati dan mengagungkan Bung Karno. Ia mengambil contoh, saat berkunjung ke Moskow, 150 orang Rusia berbaris untuk menyanyikan lagu “Indonesia Raya” sebagai penyambutan terhadap kedatangan Bung Karno di lapangan terbang, sungguhpun Bung Karno datang dengan pesawat terbang Amerika (PanAm). Atas peristiwa itu, Bung Karno mengaku terharu, bahkan air matanya berlinang-linang.
Demikian pula ketika Bung Karno berkunjung ke Cina. Di Beijing, rakyat Cina menyambut kedatangan Bung Karno dengan arak-arakan pawai raksasa serta tembakan penghormatan. Bung Karno bahkan bisa merasakan, orang-orang yang ikut dalam rombongannya, ikut merasakan bangga. Bangga karena bangsa Indonesia yang telah diinjak-injak, kini telah mengambil tempatnya, berdiri di antara bangsa-bangsa besar.