Ibu…Ibu…Ibu
Sebuah hadis meriwayatkan seorang sahabat yang bertanya, ihwal kepada siapa kita harus berbakti. Nabi SAW menjawab, “Ibumu…”. Sahabat bertanya lagi, “Setelah itu, berbakti kepada siapa lagi ya Nabi?”, dan Nabi SAW kembali menjawab, “Ibumu…”, begitu sampai tiga kali, baru yang keempat Nabi menjawab, “Bapakmu…”.
Bung Karno sang proklamator, paham betul itu. Ibunda, Ida Ayu Nyoman Rai menempati tahta tertinggi di hatinya. Dalam banyak kesempatan, baik sehabis kembali dari pembuangan, atau dari tugas apa pun, orang pertama yang ia jumpai adalah ibunda. Ia bersimpuh dan “sungkem”, menghaturkan bakti kepada sang ibu, serta memohon doa restu. Itu “ritual” yang tidak pernah ditinggalkan Bung Karno, selama ibunda masih hidup.
Tidak hanya itu. Dengan ibunda, Bung Karno bisa “curhat” apa saja, mulai dari soal pergerakan, tanah air, sampai ke soal-soal percintaan (baca: perempuan). Tidak ada satu orang pun di atas bumi, yang mengetahui rahasia Bung Karno selengkap Idayu. Terkadang, hanya dengan tatapan lembut ibu, cukup bagi jiwa Sukarno yang bergolak-golak. Ada kalanya, usapan lembut telapak tangan ibu, mampu meluluhkan jiwa gundah Sukarno.
Saya, baru saja menemukan buku tua “Bung Karno, Anakku”, meriwayatkan sang ibunda Sukarno, Ida Ayu Nyoman Rai. Buku itu tadinya berjudul “Pengukir Jiwa Soekarno” yang dicetak pertama kali tahun 1949. Seperti apa isi buku itu? Tunggu postingan berikutnya. (